Alkisah
sang Umi dan Abi mendidik anaknya begitu baik, dalam bi’ah yang teramat
kondusif. Waktu-waktu sang mujahid kecil lebih banyak dimanfaatkan
untuk hal-hal yang bermanfaat di dalam rumah, berinteraksi intens dengan
al-Qur’an, menjauhi berbagai media hiburan apapun. Subhanallah, dia
bagaikan cahaya dalam rumah itu. Begitu sholehnya. Lisannya tak banyak
bicara, pandangannya pun terjaga. Umi mengelus dadanya lega, Ya Rabb
alhamdulillah kau berikan qurata a’yun bagi kami. Waktu terus bergulir,
anaknya beranjak remaja. Dia kelas satu SMP saat ini. Tapi tidak di
SMP-IT seperti waktu SDnya. Jundi kecilnya masuk sebuah SMP favorit di
kota tempat tinggalnya. Umi dan Abi yakin mujahid kecilnya bisa menjaga
diri. Dia sudah kuat untuk membentengi dirinya dari berbagai pengaruh
luar yang mungkin menggoda imannya.
Kisah ini kudapatkan dari lingkaran cahayaku tiap pekan. Tentang seorang anak “malaikat” yang luar biasa. Murabbiku mulai bercerita dengan gayanya yang khas. Tentang anak sepasang aktivis da’wah.
Aku tersenyum mendengar kisah ini, tapi … tunggu sebentar ukh, ceritanya belum berakhir. Hingga satu waktu, sang Umi mengikuti acara rapat orang tua murid kelas mujahid kecilnya. Seorang ibu yang duduk di sebelahnya mengajaknya bicara.
“Anak ibu siapa?“
Sang Umi menjawab dengan kebanggaan yang tak kuasa disembunyikan, entahlah, mengingat mujahid kecilnya terkadang membuatnya sangat bangga, “Faris, bu.“
“Anak ibu?”
“Oh…faris, yang malaikat kecil itu ya?”
Umi terhenyak, malaikat kecil??? Ibu tersebut merasakan kekagetan Umi, buru-buru dijelaskannya,”Iya, anak saya Doni sering cerita tentang Faris. Dia bilang ada malaikat dikelasku bu. Anaknya alim banget. Begitu sampai kekelas dia langsung duduk dan membuka Al-Qur’annya. Kalau belum bel, ga berhenti baca Qur’an bu. Keren kan. Trus istirahat, dia lebih banyak baca buku-buku Islam. Ga pernah maen kartu bareng aa, bororaah maen smack down-smack downan, maen games aja ga pernah. Pokoknya cool abiz. Trus ma anak perempuan japan banget deh Bu. Katanya si Doni japan itu jaga pandangan Bu. Jarang banyak bicara, waktunya terisi dengan sempurna.
Makanya anak saya dan teman-teman sekelasnya menyebut Faris, malaikat di kelasnya. Begitu terjaga, hingga teman-temannya segan untuk sekedar berbicara dengannya. Apalagi curhat atau ngajakin maen. Akhirnya Faris sering tampak kesepian dan sendiri. Soalnya Doni bilang, ga enak atuh bu, Doni mah malu and minder sama dia teh. Trus Faris juga da ga pernah cerita apa-apa, ngobrol aja jarang Bu. Padahal ya Bu, aa teh kagum sama dia. Pengen jadi kaya Faris, tapi aa tetep pengen gaul juga. Ga mungkin ya Bu? Aa jadi malaikat? Ke laut aja kali ya Bu.”
Ibunya Doni terus berbicara. Sepertinya memang sudah bawaan dari orok hobi bicarannya itu.
Umi masih terkaget-kaget. Rasanya seperti tersambar petir di siang hari.
Beruntung, rapat itu segera berakhir. Umi segera mencari tempat wudhu dan bergegas menuju mesjid. Matanya mulai memerah. Ya Rabb, apakah yang salah? Ia dan suaminya tidak pernah sedikitpun meniatkan anaknya menjadi sosok yang seperti itu. Meski ia faham ghuroba adalah hal yang mungkin terjadi pada seorang da’i. Umi mulai sesegukan, diambilnya Al-Qur’an dan mulai dibacanya untuk menenangkan diri. Sayup-sayup dari lantai bawah mesjid sekolah, didengarnya suara tilawah yang teramat dikenalnya.
Umi mengintip dari pagar lantai atas. Mujahid kecilnya sedang asyik dalam tilawahnya, sendirian di mesjid yang besar ini.
Umi mulai mengevaluasi diri, meski rasanya ingin segera ketemu abi dan menceritakan semua ini. Ada satu fase yang terlupakan dalam pola pembinaan keduanya. Bahwa tarbiyah membangun potensi anak sesuai dengan fitrahnya. Sesuai dengan usianya. Umi menyadari ia telah membentengi Faris dengan sistem imun yang kuat, tapi umi jarang mengingatkan Faris untuk menjadi kader yang muntijah ( produktif ). Yang kebaikannya menyebar pada orang lain, yang kehadirannya memberi manfaat bagi sekitarnya, yang kesholehannya menjadi kesholehan jama’I, bukan hanya kesholehan pribadi, dan yang menjadi manusia- manusia luar biasa dengan kemampuan komunikasi da’wah yang luar biasa. Bukan jamaah malaikat, tapi jamaah manusia.
Dihapusnya air matanya. Ada PR baru yang sangat besar untuk ia syurokan dengan Abinya. Bagaimana mengajarkan mujahid kecilnya berbaur tapi tidak lebur. Menjadikannya lebih mudah dijangkau oleh sekitarnya, mengajarkannya lebih banyak berbicara dalam rangkaian da’wah fardiyah dan mengajak sebanyak mungkin orang menuju surga Allah. Menjadikannya seorang remaja yang memang melewati berbagai fase perjalanan kehidupannya seiring fitrahnya. Mungkin satu waktu dia mengecengi seorang anak perempuan, mungkin satu waktu dia sangat ingin bermain games, atau menonton bersama teman-temannya. Umi tak ingin anaknya hanya bisa bersahabat dengan satu komunitas yang baik saja, umi ingin anaknya jadi kader tangguh yang mampu taklukan berbagai medan da’wah amah. Memiliki jaringan ukhuwah yang luas. Hamasahnya menggelora, ditatapnya mujahid kecilnya dari kejauhan. Sebuah kata terlontar dari bibirnya, Allahumaghfirlii, ya Rabb maafkan hamba. Anakku sayang, maafkan umi dan abi.
Aku ikut terhenyak. Entahlah, ada banyak rasa yang muncul dari hati ini mendengar kisah Faris. Sekejap, aku seolah berhadapan dengan binaan-binaanku. Bidadari-bidadari kecilku. Ya Rabb, sudahkah aku membina mereka dengan benar? Membangun potensi dan fitrah mereka dengan baik? Menjadikan mereka tetap dalam fitrah anak-anak seusianya, meski dengan nilai plus yang luar biasa dari sisi dien mereka.
Sekelebat ketakutan menghampiriku, sungguh aku harus lebih banyak belajar lagi tentang sasaran da’wahku. Memperhatikan psikologi perkembangan mereka. Menemani mereka melalui masa labil mereka sebagai seorang remaja. Da’wah sekolah SMP ini adalah sebuah fase awal perjalanan panjang da’wah thullaby. Aku tak ingin jundi-jundi kesayanganku hanya bertahan dalam jangka waktu yang singkat. Mereka harus lebih kuat bertahan dan bernafas panjang untuk istiqomah di jalan Al Haq ini.Aku tak ingin melahirkan traumatis-traumatis pembinaan Islam dalam diri mereka. Aku ingin mereka menjadi sosok yang merasakan indahnya Islam, kasih sayang dari mentor-mentornya, dan peningkatan kapasitas diri mereka sesuai fitrahnya.
Aku ingin membawa mereka menjadi bagian jamaah manusia, bukan jamaah malaikat. Mereka adalah remaja, kita tak mungkin menghapus fitrah mereka, kita hanya bisa membantu mereka mengendalikannya, menemani mereka melalui masa-masa sulitnya. Menjawab setiap pertanyaan mereka dengan kesabaran luar biasa. Dan terutama menjadikan mereka yang terbaik dari diri mereka sendiri. Tidak akan ada azsya-azsya kecil, yang begitu mirip dengan ku. Yang ada adalah mujahidah-mujahidah kecil dengan segala kekhasan dan potensi luar biasa dari diri mereka sendiri.
Kisah ini memulai evaluasi dan refleksi yang sangat panjang dari diriku selama hampir 9 tahun aku malang melintang di DS ini. Perbaikan pola pembinaan adalah suatu keniscayaan yang terus diupayakan. Untuk membina seorang kader muntijah, melalui fase yang tepat, membangun fitrah dan potensi yang hadir dalam dirinya.Untuk menjadi satu kekuatan da’wah bagi umat ini. Azzam baru bergelora dihatiku, karena aku adalah walid ( umi mereka di sekolah ), aku adalah syeik ( ustazah mereka di mentoring ), aku adalah qiyadah ( pemimpin mereka di DS ), dan terutama karena aku adalah sahabat mereka. Meski usiaku yang terpaut jauh dengan mereka. Asa ini takkan pernah hilang, menjadikan mereka amanah terbaik yang Allah titipkan padaku. Menjadi umi, ustadzah, qiyadah, dan sahabat terbaik bidadari- bidadari kecilku. Allahu Akbar !